Istilah sampah pasti sudah tidak asing
lagi ditelinga. Jika mendengar istilah sampah, pasti yang terlintas
dalam benak adalah setumpuk limbah yang menimbulkan aroma bau busuk yang
sangat menyengat. Sampah diartikan sebagai material sisa yang tidak
diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah adalah zat kimia,
energi atau makhluk hidup yang tidak mempunyai nilai guna dan cenderung
merusak. Sampah merupakan konsep buatan manusia, dalam proses-proses
alam tidak ada sampah, yang ada hanya produk-produk yang tak bergerak
(wikipedia).
Sampah dapat berada pada setiap fase materi yitu
fase padat, cair, atau gas. Ketika dilepaskan dalam dua fase yaitu cair
dan gas, terutama gas, sampah dapat dikatakan sebagai emisi. Emisi biasa
dikaitkan dengan polusi. Bila sampah masuk ke dalam lingkungan (ke air,
ke udara dan ke tanah) maka kualitas lingkungan akan menurun. Peristiwa
masuknya sampah ke lingkungan inilah yang dikenal sebagai peristiwa
pencemaran lingkungan (Pasymi).
Berdasarkan sumbernya sampah
terbagi menjadi sampah alam, sampah manusia, sampah konsumsi, sampah
nuklir, sampah industri, dan sampah pertambangan. Sedangkan berdasarkan
sifatnya sampah dibagi menjadi dua yaitu 1) sampah organik atau sampah
yang dapat diurai (degradable) contohnya daun-daunan, sayuran, sampah
dapur dll, 2) sampah anorganik atau sampah yang tidak terurai
(undegradable) contohnya plastik, botol, kaleng dll.
Dalam
kehidupan manusia, sampah dalam jumlah besar datang dari aktivitas
industri, misalnya pertambangan, manufaktur, dan konsumsi. Hampir semua
produk industri akan menjadi sampah pada suatu waktu, dengan jumlah
sampah yang kira-kira mirip dengan jumlah konsumsi. Laju pengurangan
sampah lebih kecil dari pada laju produksinya. Hal ini lah yang
menyebabkan sampah semakin menumpuk di setiap penjuru kota.
Besarnya
timbunan sampah yang tidak dapat ditangani tersebut akan menyebabkan
berbagai permasalahan baik langsung maupun tidak langsung bagi penduduk
kota apalagi daerah di sekitar tempat penumumpukan. Dampak langsung dari
penanganan sampah yang kurang bijaksana diantaranya adalah berbagai
penyakit menular maupun penyakit kulit serta gangguan pernafasan,
sedangkan dampak tidak langsungnya diantaranya adalah bahaya banjir yang
disebabkan oleh terhambatnya arus air di sungai karena terhalang
timbunan sampah yang dibuang ke sungai.
Selain penumpukan di
tempat pembuangan sementra (TPS), sampah pun akan semakin meningkat
jumlah nya di tempat pembuangan akhir (TPA). Dengan semakin bertumpuknya
sampah di TPA-TPA, akan lebih berpeluang menimbulkan bencana seperti
yang terjadi di salah satu TPA yang ada di Bandung beberapa tahun lalu.
Bencana longsong yang terjadi di TPA tersebut terjadi karena adanya
akumulasi panas dalam tumpukan sampah yang pada akhirnya menimbulkan
ledakan yang sangat hebat. Karena ledakan inilah maka sampah-sampah
tersebut longsor dan menimbun puluhan rumah serta pemiliknya. Tak kurang
dari 100 orang meninggal karena peristiwa ini. Dari kejadian tersebut
kita harus berfikir keras bagaimana agar bencana serupa tidak trjadi di
TPA-TPA yang lainnya.
Selain dampak yang telah disebutkan tadi,
secara tidak langsung sampah yang menumpuk akan berpengaruh pada
perubahan iklim akibat adanya kenaikan temperatur bumi atau yang lebih
dikenal dengan istilah pemanasan global. Seperti yang telah kita ketahui
bahwa pemanasan global terjadi akibat adanya peningkatan gas-gas rumah
kaca seperti uap air, karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan
dinitrooksida (N2O). Dari tumpukan sampah ini akan dihasilkan ber
ton-ton gas karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Gas metana (CH4)
dapat dirubah menjadi sumber energi yang akhirnya bisa bermanfaat bagi
manusia. Sedangkan untuk gas karbondioksida (CO2), sampai saat ini belum
ada pemanfaatan yang signifikan.
Akan tetapi proses perubahan
gas metana (CH4) menjadi energi tetap saja menghadapi kendala
diantaranya adalah kurangnya prospek dari segi ekonomi, yang akhirnya
membuat perkembangannya masih tetap jalan ditempat dan entah kapan akan
maju. Akibatnya gas metana (CH4) yang dihasilkan dari tumpukan sampah
hanya dapat dibiarkan saja mengapung keudara tanpa bisa dimanfaatkan.
Gas
karbondioksida (CO2) yang dihasilkan di TPA-TPA pun tidak hanya berasal
dari penumpukan sampah-sampah saja. Tetapi berasala juga dari
pembakaran-pembakaran sampah plastik yang di lakukan oleh pemulung. Para
pemulung ini membakar sampah plastik untuk lebih memudahkan dalam
memilih sampah-sampah yang tidak bisa dibakar seperti besi. Padahal
dengan pembakaran ini akan sangat merugikan terutama bagi kesehatan
masyarakat disekitar tempat pembakaran. Besarnya gas karbondioksida
(CO2) yang dihasilkan dari pembakaran tentu saja akan semakin
meningkatkan temperatur di permukaan bumi ini. selain itu abu dari sisa
pembakaran sampah akan menimbulkan gangguan pernafasan pada masyarakat
sekitar.
Menurut Sumaiku selain menghasilkan gas karbondioksida
(CO2) dalam jumlah besar, pembakaran sampah akan menghasilkan senyawa
yang disebut dioksin. Dioksin adalah istilah yang umum dipakai untuk
salah satu keluarga bahan kimia beracun yang mempunyai struktur kimia
yang mirip serta mekanisma peracunan yang sama. Keluarga bahan kimia
beracun ini termasuk (a) Tujuh Polychlorinated Dibenzo Dioxins (PCDD);
(b) Duabelas Polychlorinated Dibenzo Furans (PCDF); dan (c) Duabelas
Polychlorinated Biphenyls (PCB). Racun udara dioksin akan berbahaya pada
gangguan fungsi daya tahan tubuh, kanker, perubahan hormon, dan
pertumbuhan yang abnormal. Dengan demikian pengurangan sampah dengan
pembakaran lebih baik dihindari
Ada beberapa cara pengurangan
sampah yang lebih baik dari pembakaran yaitu seperti yang diterangkan
dalam web wahli. Ada empat prinsip yang dapat digunakan dalam menangani
maslah sampah ini. Ke empat prinsip tersebut lebih dikenal dengan nama
4R yang meliputi:
1. Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan
minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak
kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
2.
Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa
dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable
(sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian
barang sebelum ia menjadi sampah.
3. Recycle (Mendaur ulang); sebisa
mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang.
Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak
industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah
menjadi barang lain.
4. Replace (Mengganti); teliti barang yang kita
pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai
sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita
hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, misalnya, ganti
kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan
pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi
secara alami.
Sedangkan menurut Syahputra pola yang dapat dipakai
dalam penanggulangan sampah meliputi Reduce, Reuse, dan Recycle, dan
Composting (3RC) yang merupakan dasar dari penanganan sampah secara
terpadu. Reduce (mengurangi sampah) atau disebut juga precycling
merupakan langkah pertama untuk mencegah penimbunan sampah.
Reuse
(menggunakan kembali) berarti menghemat dan mengurangi sampah dengan
cara menggunakan kembali barang-barang yang telah dipakai. Apa saja
barang yang masih bisa digunakan, seperti kertas-kertas berwarna-warni
dari majalah bekas dapat dimanfaatkan untuk bungkus kado yang menarik.
Menggunakan kembali barang bekas adalah wujud cinta lingkungan, bukan
berarti menghina.
Recycle (mendaur ulang) juga sering disebut
mendapatkan kembali sumberdaya (resource recovery), khususnya untuk
sumberdaya alami. Mendaur ulang diartikan mengubah sampah menjadi produk
baru, khususnya untuk barang-barang yang tidak dapat digunakan dalam
waktu yang cukup lama, misalnya kertas, alumunium, gelas dan plastik.
Langkah utama dari mendaur ulang ialah memisahkar sampah yang sejenis
dalam satu kelompok.
Composting merupakan proses pembusukan
secara alami dari materi organik, misalnya daun, limbah pertanian (sisa
panen), sisa makanan dan lain-lain. Pembusukan itu menghasilkan materi
yang kaya unsur hara, antara lain nitrogen, fosfor dan kalium yang
disebut kompos atau humus yang baik untuk pupuk tanaman. Di Jakarta,
pembuatan kompos dilakukan dengan menggunakan sampah organik
Tentunya
cari ini akan lebih baik digunakan dari pada dengan cara pembakaran.
Karena selain mengurangi efek pemanasan global dengan mengurangi volume
gas karbondioksida (CO2 ) yang dihasilkan, cara ini tidak mempunyai efek
samping baik bagi masyarakat ataupun lingkungan. Seperti kata pepatah
pencegahan penyakit akan lebih baik dari pada mengobatinya. Kata bijak
ini juga bisa digunakan dalam strategi penanganan sampah yakni mencegah
terbentuknya sampah lebih baik dari pada mengolah/memusnakan sampah.
Karena bagaimanapun mengolah/ memusnahkan sampah pasti akan menghasilkan
jenis sampah baru yang mungkin saja lebih berbahaya dari sampah yang
dimusnakan. Jadi mari mulai sekarang kita bebenah diri untuk mengurangi
hal-hal yang bisa membentuk sampah.